Sebuah Tulsian Dosen saya, Bapa Arif Hidayat
Hanako mungkin paling bodoh di sekolah se-prefektur (propinsi) Tokushima, tapi dengan pedenya dia selalu sekelas dengan Atsuko, siswa paling cerdas. Sama-sama belajar IPA, Matematika, Olahraga, Musik. Hanako, perempuan gemuk mata sipit, jelas bukan apa-apa di IPA, Mat, apalagi English!, tapi Atsuko, bocah cantik periang, merata di semua pelajaran, bahkan urusan IPA, dia jagonya. Kalo urusan main, dua anak ini sohib, sangat sering main bareng
Ibu Hanako juga ga pusing bahkan senyum dengan membungkuk ala jepang ketika berkali-kali guru di SD, SMP bahkan sampai SMA menyampaikan hal yang sama : anak ibu cacingan, eh maksudnya, anak ibu sangat ketinggalan di kelas; Ekspresi yang sama dengan Ibu Atsuko, yang notabene adalah tentangga RT. Baik di rumah Hanako atau Atsuko tidak pernah mengundang guru les IPA n sejenisnya, atau rame-rame cari bimbel (bimbingan belajar), terutama Hanako. Pulang sekolah, jelas ke lapangan baseball, ski (kalau salju), atau sekedar squash n renang
Matahari berlalu, 22 tahun kemudian, Hanako yang masuk College masak (culinary arts) jadi Chef di sebuah hotel di Tokyo. Luar biasa ketika tes wawancara n performa masak bwat masuk College masak itu, dari 760 pelamar, 24 keterima, Hanako urutan 3. Sementara Atsuko tengah mengambil Doktor untuk Applied Science, di Tokyo University-paling bergengsi.
Tidak ada yang salah di sini, walau memang terdengar aneh untuk Hanako. Bakatnya mungkin di masak; tapi ancur di mapel IPA, Matematika, English; sementara lulus terus itu baru aneh. Pertanyaan yang muncul ketika penulis membaca ini adalah: Hanako pasti ga lulus KKM ( Kriteria Ketuntasan Minimal ) di kelas, alias remed terus, Rapotnya pasti kebakaran (banyak nilai merah) n ga naik kelas, belum lagi Ujian Nasional; Waaah jepang khan ummat yang alergi nyontek katanya, gimana lulus UAN?
Oh . . . remedial Hanako rajin dong; terjawab 1 pertanyaan. Tapi lainnya? Nah, ini masuk akal ketika melihat sistem sekolah di Jepang tidak mengenal Ujian Nasional. Horeeee!!! Hanako ga perlu pengayaan pagi atau kelas sore ketika 6SD, 9 SMP dan 12 SMA. Ujian sekolah ada dong! masa sih tidak ada. Ya memang ada, Guru memberikan laporan perkembangan pelajaran siswa, mana yang menjadi keunggulan mana yang kelemahan, lalu karakter apa yang sudah dipelajari di kelas, bukan peroleh angka atau medali. Ohhhh . . . .barangkali Hanako naik kelas gara-gara bantuan pelajaran lain kalo IPA, Mat, English nya jelek; bukan itu ternyata. Memang sekolah di Jepang tidak mengenal tinggal kelas. Sebodoh-bodohnya siswa di sini, pasti naik kelas. ha ha ha Hanako dan keluarganya selamat dari rasa malu tinggal kelas atau gagal UN.
Tidak ada lomba siswa berprestasi, olimpiade sains, di jamin naik kelas dan tidak Ujian Nasional ; bimbel di sini mati kutu mencari siswa, dan Bimbel pun bubar sejak tahun 1800an
Hanako mungkin paling bodoh di sekolah se-prefektur (propinsi) Tokushima, tapi dengan pedenya dia selalu sekelas dengan Atsuko, siswa paling cerdas. Sama-sama belajar IPA, Matematika, Olahraga, Musik. Hanako, perempuan gemuk mata sipit, jelas bukan apa-apa di IPA, Mat, apalagi English!, tapi Atsuko, bocah cantik periang, merata di semua pelajaran, bahkan urusan IPA, dia jagonya. Kalo urusan main, dua anak ini sohib, sangat sering main bareng
Ibu Hanako juga ga pusing bahkan senyum dengan membungkuk ala jepang ketika berkali-kali guru di SD, SMP bahkan sampai SMA menyampaikan hal yang sama : anak ibu cacingan, eh maksudnya, anak ibu sangat ketinggalan di kelas; Ekspresi yang sama dengan Ibu Atsuko, yang notabene adalah tentangga RT. Baik di rumah Hanako atau Atsuko tidak pernah mengundang guru les IPA n sejenisnya, atau rame-rame cari bimbel (bimbingan belajar), terutama Hanako. Pulang sekolah, jelas ke lapangan baseball, ski (kalau salju), atau sekedar squash n renang
Matahari berlalu, 22 tahun kemudian, Hanako yang masuk College masak (culinary arts) jadi Chef di sebuah hotel di Tokyo. Luar biasa ketika tes wawancara n performa masak bwat masuk College masak itu, dari 760 pelamar, 24 keterima, Hanako urutan 3. Sementara Atsuko tengah mengambil Doktor untuk Applied Science, di Tokyo University-paling bergengsi.
Tidak ada yang salah di sini, walau memang terdengar aneh untuk Hanako. Bakatnya mungkin di masak; tapi ancur di mapel IPA, Matematika, English; sementara lulus terus itu baru aneh. Pertanyaan yang muncul ketika penulis membaca ini adalah: Hanako pasti ga lulus KKM ( Kriteria Ketuntasan Minimal ) di kelas, alias remed terus, Rapotnya pasti kebakaran (banyak nilai merah) n ga naik kelas, belum lagi Ujian Nasional; Waaah jepang khan ummat yang alergi nyontek katanya, gimana lulus UAN?
Oh . . . remedial Hanako rajin dong; terjawab 1 pertanyaan. Tapi lainnya? Nah, ini masuk akal ketika melihat sistem sekolah di Jepang tidak mengenal Ujian Nasional. Horeeee!!! Hanako ga perlu pengayaan pagi atau kelas sore ketika 6SD, 9 SMP dan 12 SMA. Ujian sekolah ada dong! masa sih tidak ada. Ya memang ada, Guru memberikan laporan perkembangan pelajaran siswa, mana yang menjadi keunggulan mana yang kelemahan, lalu karakter apa yang sudah dipelajari di kelas, bukan peroleh angka atau medali. Ohhhh . . . .barangkali Hanako naik kelas gara-gara bantuan pelajaran lain kalo IPA, Mat, English nya jelek; bukan itu ternyata. Memang sekolah di Jepang tidak mengenal tinggal kelas. Sebodoh-bodohnya siswa di sini, pasti naik kelas. ha ha ha Hanako dan keluarganya selamat dari rasa malu tinggal kelas atau gagal UN.
Tidak ada lomba siswa berprestasi, olimpiade sains, di jamin naik kelas dan tidak Ujian Nasional ; bimbel di sini mati kutu mencari siswa, dan Bimbel pun bubar sejak tahun 1800an