Senin, 10 Oktober 2011

Air Mata Kesucian


Oleh Abu Miftah
Pagi cerah. Seperti biasa aktifitas mobilisasi manusia hilir berganti. Deru mesin kendaraan, dan asap kendaraan klop menjadi suatu yang lumrah. Namun berbeda dengan bapak satu anak ini, semua itu tak berarti, karena pagi itu dengan sepeda motor yang disewanya 30 ribu per hari, ia harus menyelusuri setiap lorong dan koridor jalan untuk berdagang kerupuk kulit milik temannya. Baginya itu belum cukup, sebagai tambahan, setiap Sabtu bersama temannya sebagai pelayan makanan untuk acara perkawinan. Hebatnya, ia juga mitra kerjaku. Tugasnya menjaga pameran (stand guide) sekaligus menjual film VCD Edukasi anak. Kerja keras ini, tak lain hanya untuk memberikan nafkah istri dan anak.
Kini bapak ini, tinggal di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Waktu kecil hidupnya ia habiskan waktunya bersama orang tua di Bojong Gede, Depok, Bogor. Aku menamakannya Budi, karena ia memiliki akhlak yang baik. Ini bukan nama sesunguhnya. Tapi bagiku nama ini menjadi sejarah perjalanan hidupku. Ia figure ayah yang bertanggung jawab.
Keesokan harinya. “Siang nanti, selama 4 hari ente jaga pameran di Pabrik ASTRA, Sunter, Jakarta Utara,”ucapku, menelpon dari kejauhan. “Siap pa, seperti biasa, Jam 11 da sampe sana ya,”jawabnya tanpa keluh. Kesigapannya yang membuatku selalu mempercayainya. Kerja dan jujur adalah motto hidupnya. Kesederhanaan membuat otak dan tenaganya tak mau berhenti bergerak. Aku merasakan bahwa, Budi bakal menjadi orang sukses. Satu hal Lagi yang membuatku senang padanya, jika ia tidak punya uang, ia tetap tersenyum, bahkan dalam catatanku ia sudah lebih dari 3 (tiga) kali berjalan kaki sejauh 10 km dari terminal lebak bulus, menuju rumah orang tuaku di bilangan Pondok Pinang, hanya untuk bertugas. Terkadang memang aku jemput. Namun ketika ditanya, jawabnya, hanya singkat, “aku salah perhitungan ongkos ”. Aku hanya tersenyum. Sejujurnya aku tak mengetahui siapa Budi sebenarnya.
Budi tetap saja budi, kejujuran membawa setiap orang senang bergaul padanya. Ini terbukti ketika ia menjaga pameran di sebuah masjid perkantoran dibilangan, Fatmawati, Jakarta Selatan. Budi mengakui , omsetnya tak lebih dari 70 ribu dan ia pun meminta maaf. “Hari ini kasetnya kurang laku, beda dengan Jumat lalu. Aku sudah berusaha untuk menyebarkan brosur,”akunya, sambil membuka tali kardus yang terikat di sela-sela besi bangku motorku yg dipinjam. Aku hanya bisa tersenyum, walau rugi honor tetap saja diberi sesuai dengan kesepakatan.
Waktu terus bergulir. Sebentar lagi Ramadhan. Sebagai Stand Guide Sudah banyak yang dikerjakan Budi. Aku dan Budi, berencana akan ngisi dongeng di Bandung. Maklum saja, setiap orang sudah mengetahui bahwa profesiku adalah pendongeng (story teller). Singkat cerita, aku mengajak pertemuan dengan beliau untuk program Ramadhan. Alhasil, aku membebaskan dia untuk mencari tempat untuk pameran dengan catatan kesepakaan konsinyasi (bagi hasil).
Satu hari sebelum Ramadhan. Pesan singkat bunyi di HPku, aku lihat ternyata dari Budi. Akupun senang bukan kepalang. Isinya: “Pa Ramadhan, aku sudah punya data beberapa masjid dan beberapa Tk yang mau. Nanti aku dibantu temanku. Oya, bagaimana Bandung, kapan berangkat? ”. Aku tak tinggal diam.“Bandung tunggu khabar, Sukron, aku tunguu…,”balasku.
Ramadhan tiba. Setiap orang mempunyai cara sendiri untuk berikhtiar. Begitu juga denganku Ramadhan ini aku fokoskan untuk beribadah, jadi aku serahkan semua pada Budi. Tidak seperti tahun lalu, justru momen ini aku gunakan untuk mencari titik pameran baik itu masjid, perkantoran maupun TK. Sepekan sudah Ramadhan, namun Budi tak kunjung khabar. Pesan singkat bunyi pun aku lunjurkan pada nomer Esianya, tapi tak satu pun kata yang muncul di HPku. Dalam benaku mungkin ia konsentrasi untuk beribadah. Aku tak lagi berharap.
Sebulan sudah keberkahan Ramadhan meninggalkan umat Islam. Aku sempat mengirim pesan singkat kalimat Idul Fitri pada Budi. Lagi-lagi Budi, tak membalas. Ketika aku membuat program Workshop Mendongeng di Bandung, ingatku kembali pada Budi. SMS ku gulirkan kembali. Isinya: “pa khabr, sekarang gawe dimana?”. Saat itu kembali tak terbalas. Menjelang Magrib, pesan singkat berbunyi, disini tertulis message bernama Budi. Akupun segera membuka, Isinya: “pa Budi sudah meninggal puasa ke 3,”. Aku kaget bukan kepalang, secepatnya pesan singkat aku balas, Isinya: “Innalilihahi wainnaliliahi rojiun, sakit apa?”. Namun pesan singkat tak kunjung terbalas. Rasa penasaran semakin menjadi. Aku tak tinggal diam, aku segera menelpon, dan Alhamdulillah telpon di angkat. Suara seorang ibu muda terdengar bersama anaknya, “Wa’alaikum salam pa, ia pa, Budi, puasa ke tiga sudah tak ada. Ia sakit sesak nafas. Temannya yang di Ciputat juga kaget,”ucapnya, terdengar jelas. Akupun hanya membisu.”Ya, maaf bu, semoga ibu sabar dan Budi selalu dalam lindunganNYA,”jawabku kaku.
Budi, kepergiannya membuat setiap orang bertanya-tanya. Sosok yang tegar, semangat dalam merelungi hidup, siapapun tak menyangka ia mengidap penyakit kanker yang sudah menyebar ke paru-paru. Ketika bekerja, tak menampakkan keluh kesah. Ia selalu senang dan bahagia. Maafkan aku, Budi, air mata ini hanya untuk kesucian seorang ayah yang selalu setia pada janji membahagiakan keluarganya. Amin
Kamis, 29 September 2011
Selamat Jalan Kawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar