Minggu, 23 Oktober 2011

Tentang Penamparan dalam Pengkaderan


oleh : Muhammad Mabrudy
Sebelum saya mengungkapkan pendapat tentang penamparan saya ingin menyampaikan bahwa saya dulu besar di lingkungan yang tegas katanya, saya hidup enam tahun di pesantren yang terbiasa melakukan tamparan kepada santrinya bila seorang santri melakukan kesalahan. Satu, dua jam hukuman itu efektif begitu juga satu dua hari namun dalam jangka waktu yang panjang tidak ada efek jera yang timbul dari santri tersebut bahkan yang timbul adalah rasa benci ghibah (membicarakan orang lain) bahkan ada juga rasa balas dendam (dalam bentuk yang bermacam-macam). Tamparan atau kontak fisik apapun bukan merupakan bentuk yang efektif dalam sebuah pendidikan ataupun pengkaderan.
Terus pendapat saya dalam pengkaderan pertama-tama coba tanyakan terlebih dahulu kepada orang yang sepakat tentang tamparan atau kontak fisik semacam apa pun itu tentang alasan melakukan tamparan : bila alasannya adalah sebagai hukuman atau efek jera katakanlah bahwa hukuman seperti itu tidak menimbulkan efek jera kecuali hanya beberapa saat, bahkan yang muncul adalah rasa benci dari orang yang ditampar atau bahkan rasa dendam. Lihatlah orang yang ditampar akan tunduk ketika ditampar tapi akan mengeluh setelah ditampar. 
Bila mereka menjawab sebagai sebuah rasa sayang, katakanlah bahwa tamparan tidak sedikit pun menunjukan rasa sayang seorang kakak terhadap adiknya. Kalau pun iya ada yang seperti itu,  tidak bisakah ada cara yang lebih baik untuk mengucapkan selamat datang atau menunjukan rasa sayangnya. Terus biasanya ada yang sering menjawab ini adalah Budaya dari himpunan kita, sebuah lingkungan yang tidak melestarikan budayanya pasti akan mati, ya ada benarnya juga tapi pantaskah budaya seperti ini dipertahankan? Pengkaderan zaman dulu memerlukan kader yang berani melawan tekanan pemerintah yang kejam, main tindas tanpa pandang bulu, namun cobalah lihat keadaan bangsa sekarang kita lebih membutuhkan kader bangsa yang cerdas, tidak bisa diiming-imingi oleh harta, juga berani, kita butuh kader yang mampu mengatakan bahwa suatu hal itu salah kalau emang salah, bukan kader yang menyebutkan sesuatu benar gara-gara takut sama seniornya, atau bukan kader yang membenarkan sebuah kesalahan karena sogokan-sogokan yang menggiurkan. Keberanian ini pun tidak akan bermanfaat kalo kader-kader yang dimiliki bangsa ini memiliki pemahaman yang minim terhadap suatu ilmu.
Lalu biasanya juga ada yang menjawab ini adalah sebuah pendidikan, pendidikan adalah proses yang harus disadari, jadi ketika maru ditampar mereka harus sadar bahwa mereka sedang dididik, kalau mereka ga sadar, ya bukan pendidikan namanya, Terus ada juga yang berdalih supaya lebih dekat, ketika dalam pengkaderan mereka ditampar, mereka jadi ingat, dan jadi dekat dengan kita, benarkah seperti itu? Salah seorang senior saya pernah berkata seperti itu lalu dia berkata “ketika pengkaderan, saya benci banget sama orang itu, lalu setelah bertemu dikampus eh ternyata saya jadi dekat dan akrab sama si akang yang menampar saya”  dia juga berdalih bahwa orang yang tidak dikader dengan ditampar menghasilkan kader yang “cunihin” ga sopan dan sebagainya, tapi saya merasakan kesopanan yang dihasilkan dari pengkaderan itu adalah kesopanan semu, sopan hanya karena takut, bukan sopan karena hormat, cara seperti itu hanya menghasilkan kader-kader yang bermuka dua. Banyak cara yang lain selaian kontak fisik yang dapat dilakukan untuk saling mengakrabkan maru, mala dan warga. 
Terakhir mereka biasanya berdalih semua senior juga sepakat dengan cara seperti ini (dibaca : penamparan dsb), jangan terlalu percaya pengalaman saya memang senior-senior yang datang kebanyakan menyampaikan hal itu, tapi ketika teman saya bertanya kepada salah seorang senior yang sudah “tua” tentang ma’na dari sebuah pengkaderan beliau bisa melihat lebih objektif dan tidak sepenuhnya sepakat dengan cara-cara yang dilakukan dulu.
Dari sekian banyak orang yang mengingnkan kontak fisik dalam pengkaderan saya berasumsi (bukan su’udzon tapi dari argument yang disampaikan terlihat seperti itu) bahwa mereka ingin melakukan tamparan hanya karena keinginan pribadi, balas dendam dan kesenangan. “Dulu saya ketika dikader, saya ditampar, masa maru sekarang ga ditampar” lalu ada juga yang bicara “mana maru yang sombong teh, biar saya kasih pelajaran”. Setelah mereka menampar orang yang menampar akan mempunyai sebuah cerita kesenangan yang dapat diceritakan ke temannya yang lain, saya pikir hal itu tidak bermanfaat kecuali hanya menghabiskan waktu. Memang tidak semua orang beralasan seperti ini, tapi tetap saja selalu ada oknum-oknum yang seperti itu. 
Senior saya pernah berkata “Pengkaderan/pendoktrinan akan berhasil dengan dua cara pertama menekan kader sehingga mereka berada dalam keadaan yang benar-benar tertekan sehingga dalam seperti itu kita bisa memberikan pendoktrinan atau cara kedua kita membuat kader benar-benar dekat dengan kita sehingga bila mereka sudah dekat apa yang kita sampaiakan akan mereka turuti” Cara yang pertama saya pikir memiliki resiko yang besar, dan bila seniornya tidak profesional bahkan akan muncul justru kebalikannya kader-kader yang rusak dan merusak bangsa. Cara pertama sangat cocok dilakukan di lembaga yang memang khusus memiliki kajian yang mendalam dan bidang yang khusus dalam pengkaderan seperti militer. Cara yang kedua menurut saya yang bisa diterapkan di himpunan, panitia harus tegas, serius ketika harus serius berbaur ketika waktunya bercanda.
Dalam mengkader selain kebutuhan himpunan yang dipertimbangkan, satu hal yang sering dilupakan panitia adalah Kebutuhan MARU, coba amati maru apakah mereka datang ke sini untuk menjadi kader di himpunan? Tidak mereka datang ke sini memiliki berbagai macam tujuan dari akademis dan lain-lain, layaknya himpunan harus bisa memfasilitasi pengkaderan yang bisa menyeimbangkan aspek pemikiran (akademis, keilmuan dll), ruhani dan jasmani
Terakhir tentang penamparan dalam pengkaderan saya kadang berfikir,
-      Orang tua saya aja yang melahirkan saya, mengurus saya dari kecil, tidak pernah memukul saya apalai menampar di muka, lalu anda siapa saya? Apa yang telah anda berikan ke saya sehingga berani menampar saya 
-     Penamparan untuk pendidikan harus dilakukan oleh orang profesional, lihat saja STPDN yang biasa melakukan hal seperti itu sampai bisa memakan korban, senior saya menceritakan tentang temannya yang datang ke kampus untuk belajar, tetapi dia ikut pengkaderan dan ditampar seniornya, sampai telinganya berdarah dan tuli, bayangkan bagaimana perasaan orang tua yang pada awalnya dengan bangga menyekolahkan anaknya supaya bisa jadi orang sukses, terenggut masa depannya gara-gara perilaku seniornya yang tidak profesional. Mungkin di pengkaderan sebelumnya belum pernah terjadi, tapi kalo tahun ini terjadi, bagaimana? Ketua himpunan sebagai orang yang bertanggung jawab adalah orang yang pertama kali diminta pertanggungjawabannya, staf-staf yang lain tidak akan terlalu merasakan, apalagi senior-senior, mereka juga tidak akan terlalu tahu-menahu, kalau ada tuntutan dari polisi penguruslah yang akan mendapatkan efek yang paling besar, selain UPI sebagai sebuah lembaga tentunya
-         Ini adalah tahunnya teman-teman, dan yang tanggung jawab adalah teman-teman, yang paling tahu kondisi pengurus dan maru adalah teman-teman, Jadi rasionalkan yang ingin teman-teman lakukan, jangan pernah goyah kalo itu memang baik, tapi tetap harus mau menerima masukan dari luar.

Terakhir, mungkin unataian kata-kata ini tidak lebih dari sebuah kata-kata belaka, benar salahnya adalah hak bagi pembaca untuk menentukannya, tetapi sebuah masukan bagi penulis adalah sesuatu yang lebih bermakna.
Terima kasih dan mohon maaf bila ada kata-kata yang tidak berkenan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar